Mungkin hanya “Malaikat” yang belum mengunjungi perbatasan. Namun hingga saat ini, Jagoi-Serikin belum ada perubahan. Demikian gambaran kondisi perbatasan Jagoi Babang-Serikin beberapa waktu lalu saat dikunjungi tim survei dan pengkaji dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) beserta rombongan.
Melihat secara langsung permasalahan-permasalahan di kawasan perbatasan Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, tim ini mengunjungi Lima Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia seperti: Kabupaten Bengkayang, Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu.
Warga yang hidup di perbatasan ini berharap, kunjungan pejabat negara tidak hanya seremonial saja melainkan bisa mencari benang merah dalam menyelesaikan persoalan yang begitu komplek, mulai dari pendidikan, infrastruktur yang masih jauh tertinggal serta pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya.
“Kami tidak ingin apa yang disampaikan masyarakat terkait permasalahan perbatasan hanya sekedar menjadi kajian-kajian semata, tetapi cari jalan keluarnya untuk kemajuan masyarakat perbatasan,” kata Ahau Kadoh, Ketua Forum Masyarakat Adat Bi-Jagoi Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang saat ditemui SICOM di kediamannya, belum lama ini.
Menurut Ahau, kedatangan tim Lemhanas tidak tepat sasaran justru mendapat kritikan dari berbagai elemen dan tokoh masyarakat setempat, karena sebelumnya beberapa pejabat, menteri bahkan presiden sudah berkunjung meninjau langsung kondisi di perbatasan.
“Mungkin hanya “Malaikat” saja yang belum pernah mengunjungi kawasan perbatasan Jagoi Babang-Serikin, tetapi mereka masih merasa nasib dan hidup yang belum pernah berubah. Perbatasan jangan hanya dijadikan Ayam potong saja,” pesan Ahau seraya mengkritisi kunjungan para pejabat bersama rombongan Lemhanas pekan lalu.
Ahau menambahkan masyarakat berharap kunjungan itu membawa angin segar, namun kedatangan Lemhanas hanya untuk minum Kopi di Serikin saja.
Selain itu, tokoh masyarakat adat Jagoi Babang juga berharap Lemhanas mau mendengar jejak pendapat langsung dari masyarakat terutama persoalan pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan ekonomi. Namun pertanyaan justru hanya mengarah kepada Wakil Bupati saja.
“Kalau tau seperti itu untuk apa kami datang dan buat apa kami diundang, sementara hanya jadi pendengar saja,” ungkap Ahau kesal.
Lebih jauh Ahau menyampaikan terkait pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah terutama team lemhanas. Disampaikannya, anak-anak usia sekolah yang bermukim di perbatasan Jagoi Babang lebih memilih melanjutkan pendidikannya di negara tetangga Sarawak-Malaysia. Alasan mereka sungguh ironi sebab pendidikan di sana gratis. Pemerintah Indonesia hanya menggratiskan biaya sekolah pada iklan di televisi saja, sedang di lapangan tidak ada.
“Kita tidak mungkin mencegah mereka sekolah di Malaysia karena sarana dan prasarana pendidikan di Malaysia lebih baik, sedangkan di Indonesia semua harus pakai uang,” kata Ahau.
Selain pendidikan, masyarakat perbatasan dalam masalah kesehatan juga cenderung memilih untuk berobat ke Malaysia dengan alasan lebih murah, cepat dan pelayanannya memuaskan. Tak hanya itu pelayanan kesehatan juga memadai, bahkan bisa sampai dilakukan operasi pasien yang berobat cukup hanya membayar Satu Ringgit Malaysia atau sekitar Tiga Ribu Rupiah (Rp 3.000).
Katanya lagi, kawasan perbatasan Jagoi Babang diakui sebagai beranda terdepan, namun seharusnya mempunyai sarana pendidikan yang memadai termasuk program pendidikan gratis sesuai program pemerintah pusat seperti bantuan operasional sekolah (BOS) bagi masyarakat yang tidak mampu.
“Kami berharap pemerintah pusat memberikan perhatian yang serius terkait persoalan pendidikan yang katanya gratis, namun beberapa Sekolah SD,SMP dan SMA masih memungut biaya yang kononnya biaya administrasi,” Beber Ahau kesal.
Ironisnya, anak-anak didik lulusan SMA ketika mengambil Ijasah harus membayar Rp 400.000, dengan alasan klasik, padahal sarana pendidikan dan transportasi belum membaik terutama pemukiman di pelosok-pelosok Kecamatan Jagoi Babang.jamli
Ironisnya, anak-anak didik lulusan SMA ketika mengambil Ijasah harus membayar Rp 400.000, dengan alasan klasik, padahal sarana pendidikan dan transportasi belum membaik terutama pemukiman di pelosok-pelosok Kecamatan Jagoi Babang.jamli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar